Nafsu merupakan naluri alamiah terhadap sesuatu yang dirasa sesuai dengan kebutuhannya. Kecenderungan tersebut diciptakan pada diri manusia sebagai kebutuhan yang penting untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Sebagai contohnya, makan, minum, dan menikah.
Maka, nafsu akan mendorong kepada sesuatu yang diinginkanya, sebagaimana kemarahan yang menghalangi dirinya dari sesuatu yang mengganggunya. Jadi, kita tidak dapat mencela nafsu secara mutlak. Tidak juga menetapkan bahwa nafsu bernilai positif secara mutlak. Sebagaimana kemarahan, tidak setiap kemarahan itu buruk, dan tidak setiap kemarahan itu baik. Yang tidak baik dan tercela adalah ketika sikap berlebihan diantara keduanya.
Allah tidak pernah menyampaikan uraian tentang nafsu di dalam firman-Nya melainkan disertai dengan celaan. Demikian pula pada sunnah Rasulullah saw, "Tidak disebutkan beriman, sehingga seseorang menjadikan hawa nafsunya sebagai pengikut apa yang dibawa dibawa beliau." (H.R. Bukhari)
Ketika seorang mukallaf diuji dengan adanya hawa nafsu, maka dalam diriya akan muncul dua hakim, hakim akal dan hakim agama. Diperintahkan padanya agar melaporkan setiap apa yang terjadi dengan nafsu kepada dua hakim ini, dia patuh atas keputusan dua hakim tersebut.
Seyogyannya orang yang berakal sehat mengetahui, bahwa orang yang mengumbar hawa nafsunya akan memperoleh akhir yang menyiksa. Sekalipun dia tidak bisa meninggalkannya, karena nafsu termasuk salah satu unsur penting yang dibutuhkannya. Sehingga kita akan mendapati orang yang selalu mabuk-mabukan dan mengumbar birahinya, dia tidak akan merasakan kenikmatan secara total, sebagaimana kenikmatan yang tergambar yang dirasakan oleh orang yang jarang melakukannya. Hanya karena kebiasaan yang menuntut da tidak bisa ditinggalkannya, dia terus melakukan sesuatu yang sebenarnya menjerumuskan dirinya ke alam kehancuran. Andai saja tirai nafsu itu disingkap, niscaya dia akan mengetahui bahwa dia tidak mengecap totalitas kebahagiaan yang diharapkannya. Dia dibuai kebahagiaan yang disangkanya sempurna Padahal dirinya tak jauh berbeda dengan seekor burung yang terkecoh oleh biji gandum yang kosong.
sumber: Taman Orang Jatuh Cinta, Ibnu Qayyim Al Jauzi
Selasa, 12 Juni 2012
Nafsu itu..
Diposting oleh sangperindusurga di 18.27
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar